Olilit Barat, MediaTifaTanimbar.id— Mentari pagi yang kian memanas menerobos dari cela bangunan gereja Hati Kudus Yesus yang megah. Terlihat dari jauh, langkah seorang imam bertubuh kekar dan besar yang melangkah dari ruangan sakristi gereja paroki menuju rumah pastoran yang hanya berjarak beberapa langkah kaki.
Tak lama berselang, datanglah empat orang anak sekolah yang berseragam SD dan SMP mendekati sang pastor. Ia adalah Pastor Ponsianus Ongirwalu. Pastor Ponsio yang akrab dengan nama ini adalah seorang imam diosesan dari Keuskupan Amboina. Dia adalah pastor Paroki Hati Kudus Yesus Olilit Barat yang berada di Kecamatan Tanimbar Selatan, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku.
Dengan senyum lembut, ia menggenggam tangan seorang bocah yang malu-malu mengucapkan terima kasih. Bagi Pastor Ponsio, perjumpaan sederhana seperti ini bukanlah hal baru.
Selama lebih dari satu dekade, ia setia melayani umat sejak bertugas di salah satu paroki di Maluku Utara dengan strategi Pastoral Kehadiran, yakni sebuah pelayanan yang menuntutnya untuk hadir dari rumah ke rumah, mengenal setiap pribadi, memahami harapan, dan merasakan kegelisahan mereka.
Sejak diangkat sebagai Vikaris Episkopal atau yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Wakil Uskup untuk Kabupaten Kepulauan Tanimbar dan Kabupaten Maluku Barat Daya, pelayanan Pastor Ponsio semakin meluas. Namun, semangatnya tetap sama, yaitu berpihak pada mereka yang kecil, yang miskin, dan yang berharap pada Tuhan.
“Menjadi pastor berarti saya siap untuk datang, melayani, berjalan, berbuat baik, dan memperhatikan mereka yang kecil. Seperti Yesus,” ujarnya lirih namun penuh keyakinan.

Membangun Harapan di Tengah Keterbatasan
Ketika pertama kali tiba di Paroki Hati Kudus Yesus Olilit Barat pada tahun 2023, Pastor Ponsio disambut oleh kenyataan yang jauh dari gemerlap. Infrastruktur yang memadai, namun ekonomi umat pas-pasan, dan yang paling membuatnya pilu adalah banyaknya anak-anak yang putus sekolah.
“Bukan karena mereka bodoh, tetapi karena mereka berasal dari keluarga yang berekonomi lemah,” tutur Pastor Ponsio dengan lirih.
Berangkat dari keprihatinan itu, ia mulai menyisihkan intensi dan sumbangan dari umat. Uang yang didapat dari misa harian, pemberkatan rumah, atau sekedar amplop kecil dari umat yang berterima kasih, semuanya ia kumpulkan sedikit demi sedikit. Hasilnya mungkin tidak seberapa, namun cukup untuk membantu biaya sekolah anak-anak yang membutuhkan. Hingga awal 2025, sedikitnya 90 anak telah merasakan uluran kasih dari tangan sang pastor yang humanis ini.
Di antara mereka, ada tiga mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan tinggi. Seorang di antaranya adalah mahasiswi kebidanan di Prodi Saumlaki.

“Tidak banyak yang bisa saya beri, tetapi ini tentang memberi mereka harapan,” katanya.
Bagi Pastor Ponsio, pendidikan adalah kunci agar anak-anak Tanimbar tidak menjadi orang asing di tanah mereka sendiri, terutama dengan semakin dekatnya operasional proyek Blok Masela yang menjanjikan kemakmuran namun juga mengancam jika tak diimbangi dengan sumber daya manusia yang siap.
Gereja yang Indah Tak Bermakna Tanpa Masa Depan Anak-Anak
Di kejauhan, gereja paroki berdiri megah dengan rumah pastoran berlantai dua. Namun bagi Pastor Ponsio, keindahan bangunan itu tak bermakna jika anak-anak Tanimbar masih terpinggirkan.
“Percuma kita membangun gereja yang indah jika kita tidak memperhatikan masa depan anak-anak. Gereja yang indah itu adalah masa depan mereka,” tegasnya.
Kesadaran itu membuat Pastor Ponsio tak segan turun langsung ke rumah-rumah umat, menyapa dan mendengar. Ia mengingat jelas setiap cerita. Tentang seorang ibu yang menjual hasil kebun demi biaya sekolah anaknya, atau seorang ayah yang rela melaut berhari-hari agar anaknya bisa membeli buku tulis. Bahkan ada pula anak yang harus tinggal dan dibiayai oleh sang nenek karena kehilangan ayah dan ibu.
“Bila kita hadir bersama mereka, kita akan tahu betapa banyaknya yang masih membutuhkan uluran tangan,” ungkapnya.

Tak Sekedar Bantuan, Tapi Inspirasi
Bagi Pastor Ponsio, membantu anak-anak bukan sekedar memberi materi. Lebih dari itu, ia ingin menginspirasi umat untuk turut membuka hati.
Dengan rendah hati, ia mengakui bahwa apa yang diberikannya mungkin tak seberapa. Namun, ia berharap langkah kecil ini bisa memotivasi umat untuk saling berbagi.
“Saya ingin umat melihat bahwa masih ada banyak orang yang susah. Masih ada anak-anak yang membutuhkan bantuan,” katanya.
Tak jarang, Pastor Ponsio mengajak umat merenung tentang masa depan. Dalam homilinya, ia kerap menyinggung tentang Blok Masela yang suatu hari akan membuat Tanimbar berlimpah “susu dan madu”. Namun ia memperingatkan, tanpa pendidikan yang memadai, masyarakat lokal hanya akan menjadi penonton di tanah mereka sendiri.
“Hanya pendidikan yang bisa mengalahkan dunia ini,” tegasnya.
Menjadi Cahaya bagi Sesama
Menjadi Vikaris Episkopal, wilayah pelayanan Pastor Ponsio kini mencakup dua kabupaten yang luas dan beragam, dengan wilayahnya yang terdiri dari pulau-pulau kecil. Namun, ia tetap setia pada strategi pastoralnya, yakni hadir dan mendengar.
“Yang saya punya, saya berbagi. Khususnya untuk anak-anak dari kalangan ekonomi lemah,” ujarnya.
Bahkan saat berkunjung ke wilayah terpencil seperti di Stasi Lamdesar Timur, Pastor Ponsio selalu membawa bantuan sederhana. Bukan untuk menunjukkan kekuasaan, tapi untuk merawat harapan.
Tak hanya itu, Pastor Ponsio telah mengumumkan secara terbuka bagi umat di Parokinya bahwa sejak awal Januari 2025, setiap intensi misa yang dia peroleh akan dibagikan juga kepada rekan-rekan Imamnya yang bertugas di “paroki-paroki pinggiran” yaitu paroki-paroki yang jauh dari keramaian kota dan yang terbilang terisolir.
Di usianya yang sudah tak muda lagi, semangat Pastor Ponsio tak pernah surut. Baginya, anak-anak Tanimbar harus punya masa depan yang sama baiknya dengan anak-anak di daerah lain.
“Saya ingin mereka setara,” katanya.
Pagi itu, setelah berjam-jam berkunjung dari rumah ke rumah, Pastor Ponsio masih menyempatkan diri berbincang dengan beberapa pemuda di halaman gereja. Suaranya lelah namun hangat, seolah tak ingin satu pun domba terabaikan.
Dengan langkah pelan namun pasti, Pastor Ponsio terus merawat harapan di Tanah Tanimbar. Seperti lilin kecil di tengah malam yang tak pernah padam, ia hadir sebagai terang bagi mereka yang kecil, yang miskin, dan yang berharap pada Tuhan.
“Terima kasih bapak pastor Ponsio. Saya berjanji akan terus sekolah, meskipun bapak dan mama saya tidak bisa hadir bersama saya selama ini,” ujar Margareta seorang siswi SMK yang baru saja menerima bantuan biaya sekolah satu semester dari Pastor Ponsio.
(TT – 01)