Teineman – Wuarlabobar, Media-TifaTanimbar.id – Di sudut terpencil Pulau Yamdena, Desa Teineman masih berkutat dalam kegelapan. Harapan untuk menikmati listrik yang layak seakan hanya mimpi bagi lebih dari 600 jiwa atau 100 lebih kepala keluarga yang mendiami desa ini. Hingga kini, aliran listrik dari program pemerintah belum mampu menerangi kehidupan masyarakat secara maksimal.
Setiap malam, sebagian rumah warga hanya bisa menikmati cahaya lampu dari panel surya milik beberapa orang, itupun terbatas mulai pukul 19.00 hingga 24.00 WIT. Bagi yang memiliki mesin genset berkapasitas 5 kVA, mereka bisa merasakan terang hingga pukul 22.00 WIT. Namun bagi sebagian besar warga lainnya, pelita tradisional atau kegelapan total menjadi teman setia sepanjang malam.
Ironisnya, sebuah mesin pembangkit listrik milik desa yang seharusnya menjadi solusi justru dibiarkan terbengkalai tanpa penjelasan pasti.
Seorang warga yang enggan disebut namanya mengungkapkan, “Mesinnya ada, tapi sudah lama tidak digunakan. Kami juga tidak tahu kenapa, mungkin karena terkait persoalan pro dan kontra di desa, tetapi kami tidak diberi tahu,” tutur sumber kepada media ini, Minggu (2/3/2025).

Akses Energi yang Terbatas, BBM Jadi Barang Mewah
Selain listrik, masalah lain yang tak kalah pelik adalah adanya kelangkaan bahan bakar minyak (BBM).
Untuk mendapatkan minyak tanah, warga harus mengandalkan pasokan dari Kota Larat, kecamatan Tanimbar Utara. Harga beli dari Larat sekitar Rp5.000 per liter, namun setibanya di Teineman, harga melonjak menjadi Rp10.000 per liter.
Keterbatasan pasokan membuat satu jerigen minyak langsung ludes dalam sekejap, yang baru saja dibawah oleh seorang pedagang lokal di desa. Sementara itu, Pertalite dan Pertamax lebih sulit lagi didapatkan.

Transportasi Serba Sulit, Jalan Menuju Peradaban yang Berliku
Desa Teineman seolah terputus dari dunia luar. Transportasi satu-satunya hanyalah perahu motor yang memakan waktu tiga jam dari Kota Larat atau enam jam dari Batu Putih, sebuah desa di kecamatan Wermaktian jika hendak ke Saumlaki, ibu kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar.
Jalur laut yang bergantung pada cuaca membuat suplai kebutuhan sehari-hari tak menentu.
“Jika kami hendak ke Larat atau ke Batu Putih untuk selanjutnya menuju ke Saumlaki, kami harus menanti jika dikunjungi motor laut milik beberapa pengusaha dari luar pulau,” ujar sumber.
Atau, jika masyarakat terpaksa haru bepergian, mereka menggunakan long boat milik nelayan setempat; itu pun jika ada bahan bakar.
Mayoritas Nelayan dan Petani, Harap Bantuan Pemerintah
Sebagian besar warga Teineman bermata pencaharian sebagai nelayan, sementara sisanya menggantungkan hidup sebagai petani. Namun tanpa dukungan listrik dan BBM yang memadai, produktivitas mereka ikut tercekik. Masyarakat setempat berharap ada perhatian serius dari pemerintah, bukan sekedar janji-janji tanpa realisasi.
“Kami tidak minta banyak, cukup listrik dan BBM lancar. Supaya anak-anak bisa belajar malam, nelayan bisa mengawetkan ikan, dan hidup kami sedikit lebih baik,” ujar seorang tokoh masyarakat setempat dengan nada harap.
Menanti Terang di Ujung Pulau
Kondisi Desa Teineman menjadi cermin betapa masih timpangnya pemerataan infrastruktur di Kabupaten Kepulauan Tanimbar.
Pemerintah perlu segera turun tangan, memastikan hak dasar masyarakat terpenuhi. Tanpa itu, Teineman akan terus tenggelam dalam kegelapan, baik secara harfiah maupun makna.
(TT-09)