(Oleh : Pdt. Sammy)
Jejak Historis GPM 1935-2025 – Gereja Protestan Maluku (GPM) resmi berdiri pada 6 September 1935. Namun sesungguhnya, kehadirannya adalah buah dari sebuah proses panjang penginjilan yang sudah dimulai sejak abad ke-16 ketika para misionaris Portugis dan Belanda membawa Injil ke tanah Maluku. Dari proses sejarah yang panjang itu, akhirnya lahirlah sebuah gereja lokal yang berdiri di atas tanahnya sendiri, bukan lagi sekadar cabang dari gereja induk di negeri orang, melainkan gereja yang berakar dalam budaya, bahasa, dan kehidupan masyarakat Maluku.
Sejarah GPM tidak pernah terlepas dari konteks sosial dan politik yang melingkupinya. Di masa penjajahan, ketika rakyat Maluku hidup dalam tekanan kolonialisme, gereja hadir bukan hanya untuk memberitakan Injil, tetapi juga sebagai tempat penguatan rohani dan solidaritas. Gereja menjadi tumpuan bagi masyarakat kecil yang mencari penghiburan, sekaligus wadah pendidikan dan pencerahan bagi generasi muda.
Setelah Indonesia merdeka, GPM tampil aktif dalam pembangunan bangsa, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Sekolah-sekolah yang didirikan GPM melahirkan banyak tenaga guru dan pemimpin, sementara rumah sakit dan balai kesehatan menjadi tanda nyata kasih Allah bagi mereka yang miskin dan menderita.
Memasuki masa Orde Baru, ketika masyarakat Maluku kerap termarginalkan dari arus pembangunan nasional, GPM berdiri sebagai gereja rakyat yang meneguhkan identitas dan martabat umat. Gereja menjadi tempat di mana orang Maluku menemukan kembali rasa memiliki dan daya juang sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Namun sejarah GPM juga diwarnai dengan luka. Tragedi konflik sosial 1999-2004 menjadi salah satu babak tersulit. Gereja ikut menderita bersama umat, kehilangan anggota, gedung, bahkan nyawa. Tetapi dari penderitaan itu, GPM belajar bahwa panggilannya bukan hanya menjaga iman, tetapi juga merawat perdamaian, membangun rekonsiliasi, dan menjaga kehidupan bersama dalam masyarakat yang majemuk.
Kini, menjelang usia 90 tahun lebih, GPM berdiri sebagai salah satu gereja besar di Indonesia Timur. Dengan ratusan jemaat yang tersebar dari Tifure – Mayau di utara Maluku Utara sampai Lirang – Wetar di Maluku Barat Daya, GPM adalah sebuah gereja kepulauan, multikultural, dan multireligius. Jejak sejarah ini menjadi fondasi kuat bagi GPM untuk melangkah ke depan, menatap usia 100 tahun pada 2035.
Tantangan Zaman yang Harus Disikapi
Sejarah yang panjang hanya berarti jika ia menjadi dasar untuk membaca masa kini. GPM tidak boleh hanya bernostalgia pada kejayaan masa lalu, melainkan harus berani menatap tantangan zaman yang terus berubah. Ada beberapa arus besar yang sedang dan akan terus memengaruhi kehidupan GPM dan umatnya di Maluku serta Maluku Utara:
1. Perubahan Sosial dan Budaya
Dunia sedang berubah cepat. Perkembangan teknologi digital dan arus globalisasi telah melahirkan generasi muda yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Anak-anak dan remaja kini tumbuh dengan gawai di tangan, terhubung ke dunia global, dan memiliki cara pandang baru tentang identitas, relasi, dan nilai hidup.
Di sisi lain, kearifan lokal Maluku – Maluku Utara, seperti pela, gandong, masohi, ain ni ain, duan lolat, kalwedo, budaya sarumah, ngoni moi ngone foturu, kai-wai, sasi, dan masih banyak lagi kearifan lokal yang selama ini menjadi perekat sosial, semakin terdesak dan berpotensi hilang. Jika GPM tidak hadir di tengah arus perubahan ini, maka iman dan identitas umat bisa tercerabut dari akar budayanya.
2. Tantangan Ekonomi dan Ekologi
Kemiskinan masih menjadi wajah banyak jemaat GPM, terutama di pulau-pulau kecil dan daerah terpencil. Banyak anggota jemaat hidup dari laut dan tanah, namun justru menghadapi eksploitasi sumber daya alam oleh pihak luar. Laut yang menjadi sumber hidup nelayan dirampas oleh kapal-kapal besar; tanah adat dikomersialisasikan; hutan ditebang tanpa kendali.
GPM tidak boleh diam. Gereja dipanggil untuk memperjuangkan kedaulatan ekonomi rakyat, memberdayakan jemaat dalam usaha-usaha kreatif, sekaligus menanamkan tanggung jawab ekologis agar alam Maluku tetap lestari untuk generasi mendatang.
3. Kehidupan Oikumenis dan Antariman
Maluku dan Maluku Utara adalah rumah bagi berbagai agama dan denominasi. Hidup bersama yang damai sudah lama menjadi kekuatan masyarakat, tetapi juga sangat rentan ketika politik identitas dan kepentingan sempit masuk.
GPM memiliki tanggung jawab besar untuk terus menjadi pelopor dialog antariman, memperkuat kerjasama lintas agama, dan menolak segala bentuk kekerasan. Identitas GPM bukan hanya sebagai gereja yang berakar pada Kristus, tetapi juga sebagai gereja rakyat yang menjaga harmoni di tanah majemuk.
Langkah Strategis GPM 2025 – 2030
Untuk menapaki jalan menuju 100 tahun GPM pada 2035, periode 2025-2030 harus dijalani dengan arah yang jelas. GPM tidak boleh berjalan dengan pola lama, tetapi harus menata langkah baru yang relevan dengan konteks zaman. Ada lima langkah strategis yang harus diperhatikan:
1. Menguatkan Teologi Kontekstual
Teologi GPM harus lahir dari pengalaman nyata umat: pengalaman hidup di pulau-pulau, keterikatan dengan laut dan tanah, perjuangan melawan kemiskinan, dan kerinduan akan keadilan sosial. Firman Tuhan harus diwartakan dengan bahasa yang dimengerti jemaat, tidak hanya dalam bentuk teori, tetapi sebagai kekuatan hidup yang membebaskan.
Bagi generasi muda yang tumbuh di era digital, teologi kontekstual berarti menghadirkan Injil dalam dunia mereka: di media sosial, di platform digital, dalam bahasa kreatif, seni, dan musik. Injil harus dirasakan relevan dan tidak terpisah dari realitas kehidupan sehari-hari.
2. Menata Ulang Pola Bergereja
Gereja bukan hanya gedung ibadah. GPM dipanggil untuk hadir di sekolah, pasar, rumah tangga, perahu nelayan, ladang petani, bahkan di ruang digital. Pola bergereja harus bergeser dari sekadar “menunggu jemaat datang ke gedung” menjadi “gereja yang bergerak, aktif, dan turun ke lapangan.”
GPM harus menjadi gereja yang menyapa umat di mana mereka berada, termasuk jemaat diaspora di kota-kota besar dan luar negeri. Gereja yang hidup adalah gereja yang hadir dalam denyut kehidupan umatnya.
3. Melahirkan Pemimpin Visioner
GPM membutuhkan pemimpin yang lahir dari proses kaderisasi yang berkesinambungan. Pemimpin ini harus beriman teguh, peka terhadap budaya, tangguh menghadapi tantangan global, serta mampu membaca tanda-tanda zaman.
Pemimpin visioner bukan hanya menjaga tradisi, tetapi juga berani membawa gereja pada pembaruan. Mereka harus mampu membangun jembatan antara generasi tua dan muda, antara kearifan lokal dan pengetahuan modern, antara gereja lokal dan dunia global.
4. Membangun Kemandirian Jemaat
Kemandirian adalah kunci keberlanjutan. Jemaat harus diberdayakan dalam ekonomi kreatif, pendidikan berkualitas, dan kesehatan yang terjangkau. GPM perlu mengembangkan model pemberdayaan yang membuat jemaat mampu berdiri di atas kaki sendiri, sambil tetap saling menopang sebagai tubuh Kristus.
Kemandirian ekonomi tidak hanya soal kesejahteraan, tetapi juga soal martabat. Jemaat yang mandiri tidak mudah ditindas atau diperalat, melainkan dapat menjadi saksi Kristus yang hidup dengan penuh sukacita.
5. Menjadi Motor Perdamaian dan Persaudaraan
Sejarah konflik mengajarkan bahwa tanpa perdamaian, semua pembangunan akan runtuh. GPM memiliki tanggung jawab historis untuk terus menjaga persaudaraan sejati di tanah Maluku dan Maluku Utara. Gereja harus menjadi jembatan, bukan tembok; harus memperkuat solidaritas, bukan memperlebar jurang perbedaan.
Sebagai gereja rakyat, GPM dipanggil untuk menolak diskriminasi, menghapuskan kekerasan, dan memperjuangkan hidup bersama yang adil dan damai. Dengan demikian, gereja sungguh menjadi tanda kehadiran Kristus Sang Raja Damai.
Menuju 100 Tahun GPM 2035
Periode 2025-2030 adalah batu loncatan menuju perayaan 100 tahun GPM pada 2035. Harapan kita, GPM tampil sebagai gereja yang :
Setia pada Injil Kristus, tetapi juga berakar dalam konteks lokal.
Mampu mengintegrasikan iman dengan kearifan budaya dan pengetahuan modern.
Menjadi pusat penguatan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan jemaat.
Hadir sebagai gereja yang menghidupkan damai dan persaudaraan di tanah Maluku dan Maluku Utara.
Dengan demikian, GPM tidak hanya merayakan usia 100 tahun sebagai pesta, tetapi sebagai buah dari perjalanan iman yang sungguh berarti bagi umat, masyarakat, dan bangsa.
Penutup
GPM hadir bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di tengah masyarakat. Dengan dasar sejarah yang kuat, langkah strategis yang jelas, dan visi yang terang, GPM dipanggil untuk terus melayani, memperbarui diri, dan meneguhkan panggilan sebagai gereja rakyat yang membawa terang Kristus bagi dunia.
Firman Tuhan mengingatkan kita : “Allah yang memulai pekerjaan yang baik di antara kita, akan meneruskannya sampai pada akhirnya” (Filipi 1:6).
Mari melangkah dengan iman, dengan harapan, dan dengan kasih. Sebab jalan menuju 100 tahun GPM bukan sekadar menghitung usia, tetapi menegaskan panggilan bahwa Gereja Protestan Maluku adalah gereja yang hidup, melayani, dan menjadi terang Kristus di bumi Maluku dan Maluku Utara.
Toma!!!