Saumlaki, mediatifatanimbar.id – Di tengah arus modernisasi, masyarakat Tanimbar masih memegang teguh warisan budaya leluhur yang kaya nilai spiritual. Salah satu ritual yang terus dijalankan dengan penuh kekhusyukan adalah Sifalyeur, sebuah tradisi adat yang menjadi jembatan sakral antara manusia, leluhur, dan Sang Pencipta.
Ritual ini dilaksanakan pada hari kedua setelah seseorang meninggal dunia. Bukan sekedar upacara adat, Sifalyeur merupakan ruang pengakuan, pemurnian, dan pelepasan beban dosa melalui simbol ayam jantan, yang diyakini membawa serta segala kesalahan manusia ke alam roh.
Warisan Adat Desa Tumbur
Redaksi Tifa Tanimbar mewawancarai Drs. Joseph Malindar, M.Si., sesepuh masyarakat adat yang juga dikenal dengan nama adat Ken Joseph Skyait Terunaman Malindar Lury.
Mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maluku Tenggara Barat (sekarang Kabupaten Kepulauan Tanimbar) ini dikenal luas sebagai pengamat dan pemerhati budaya Tanimbar, sekaligus penulis buku “Nilai-Nilai Budaya Tanimbar dalam Perspektif Demokrasi Pancasila dan Hukum”. Saat ini ia tengah menyusun buku keduanya yang bertajuk “Hukum Duan Lolat dan Peradilan Adat di Tanimbar”.
Menurut Malindar, Sifalyeur berasal dari dua kata: Sife (ayam jantan) dan Alyeur (melepaskan atau membuang dosa). Ritual ini telah dijalankan secara turun-temurun oleh masyarakat adat di Desa Tumbur, Kecamatan Wertamrian, dan juga di banyak desa lainnya seperti Lorulun dan Wowonda, meskipun nama dan pelaksanaannya bisa berbeda sesuai lokalitas.
Dialog Adat: Ruang Refleksi dan Musyawarah
Ritual dimulai dengan pertemuan khidmat di rumah duka. Dua orang tua adat, satu dari pihak keluarga yang berduka dan satu lagi mewakili para tetua adat kampung; duduk berhadap-hadapan, membuka ruang dialog penuh penghormatan. Dalam suasana yang sakral, keluarga menyampaikan mimpi atau penglihatan terkait almarhum, yang diyakini sebagai pesan dari alam roh.
Para tetua kemudian menelaah makna mimpi itu untuk menemukan kemungkinan adanya pelanggaran adat, masalah kekerabatan duan lolat, atau ketidakseimbangan sosial yang perlu diselesaikan. Jika ditemukan persoalan, pengakuan dilakukan secara terbuka, lalu disepakati penyelesaiannya.
Puncaknya adalah pelepasan seekor ayam jantan yang telah didoakan dan dimaknai secara adat. Ayam tersebut dilepas sebagai simbol pembawa segala kesalahan dan beban dosa. Dengan itu, diyakini pengakuan telah diterima, dan keluarga yang ditinggal dapat melanjutkan masa duka dengan hati yang damai.
Tidak Sekedar Seremonial
Namun, Sifalyeur bukanlah akhir. Ritual ini merupakan awal dari rangkaian pemurnian dan pemulihan dalam struktur sosial adat. Masih ada tahapan lain, seperti Nalu, yaitu ritual perpisahan secara adat yang biasa bertepatan dengan peringatan 40 malam atau lebih meninggalnya seseorang.
Malindar menjelaskan bahwa dalam masyarakat Tanimbar, proses duka terbagi dalam dua dimensi: keagamaan dan adat. Dari sisi keagamaan dikenal tiga malam, tujuh malam, empat puluh hari hingga seratus hari.
Sementara dalam adat, dikenal beberapa tahapan yaitu : Nbatar (ketika jenazah masih di rumah duka), Siwmaninik (saat jenazah dibawa ke pemakaman), Sifalyeur (hari kedua setelah pemakaman), Nalu (bentuk perpisahan dan ucapan terima kasih secara adat).
Seiring waktu, beberapa kelompok adat mulai menyederhanakan tahapan ini karena kesibukan atau tuntutan modernitas. Namun esensi dan nilai spiritualnya tetap dijaga oleh masyarakat yang masih memegang teguh akar tradisi.
Makna dan Nilai yang Tak Lekang
Menurut Malindar, ritual-ritual adat seperti Sifalyeur mencerminkan filosofi hidup orang Tanimbar: bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang terhubung dengan Tuhan (Duan Mele), leluhur, dan sesama. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat fleksibel, hidup, dan mengandung kedalaman batin.
“Semua berasal dari Tuhan, ditujukan kepada Tuhan, dan akan kembali kepada Tuhan. Demikian keyakinan dasar yang menyertai setiap detik dari prosesi ini,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa setiap ritual adat bukan hanya tindakan simbolik, melainkan wujud kesadaran mendalam akan kesucian hidup. Makna spiritual ini hanya bisa dipahami lewat mata batin dan kepekaan terhadap sense of holiness atau kesadaran akan kehadiran ilahi dalam hidup manusia.
Dengan merefleksikan kekayaan budaya ini, Malindar mengajak masyarakat Tanimbar untuk tidak melupakan akar tradisi yang memberi makna sejati bagi setiap fase kehidupan, termasuk saat menghadapi kematian.
(TT-01)
Saumlaki, mediatifatanimbar.id — Wakil Kepala Kepolisian Resor (Wakapolres) Kepulauan Tanimbar Kompol Emus Minanlarat, SH menyatakan…
Saumlaki, Mediatifatanimbar.id — Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku menyatakan dukungan…
Saumlaki, Mediatifatanimbar.id — Sejumlah warga yang mewakili umat Kuasi Paroki Tritunggal Maha Kudus Sifnane, Kecamatan…
Saumlaki, Mediatifatanimbar.id - Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera (DPD PKS) Kabupaten Kepulauan Tanimbar siap…
Arui Das, Mediatifatanimbar.id – Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Tanimbar, dr. Juliana C. Ratuanak, menghadiri langsung…
Saumlaki, Mediatifatanimbar.id -Pengresmian Cold Storage PT. Indo Ocean Fisheries, Kamis (2/10/2025) di Pelabuhan Ukurlaran tidak…