Ambon, mediatifatanimbar.id – Warga Desa Adaut yang berdomisili di Ambon yang bergabung dalam Persekutuan Masyarakat Tutukratu Ambon (Permata) secara tegas menolak pemberian kuasa sepihak oleh Pemerintah Desa Adaut kepada Lukas Uwuratuw terkait rencana pelepasan 700 hektare tanah ulayat untuk proyek strategis nasional di bidang hilirisasi dan ketahanan energi.
Penolakan tersebut mengemuka dalam musyawarah warga Permata di Ambon yang digelar pada Kamis, 15 Mei 2025. Dalam pertemuan itu, masyarakat menyatakan bahwa kuasa tersebut diberikan tanpa prosedur hukum maupun mekanisme adat yang seharusnya menjadi pijakan utama dalam pengambilan keputusan mengenai tanah adat.
“Warga sebagai pemilik lahan sebagian tidak pernah diajak berdiskusi, apalagi dimintai persetujuan. Tiba-tiba tanah kami dilepaskan atas nama pembangunan. Ini adalah bentuk pelecehan terhadap adat dan akal sehat kami,” ungkap Robeka Lerebulan, ketua Permata Ambon yang disambut dukungan penuh dari peserta musyawarah.
Warga menilai Pemerintah Desa Adaut telah bertindak sepihak dan mengabaikan prinsip musyawarah adat. Menurut mereka, surat kuasa itu dianggap sebagai bentuk manipulasi prosedural yang membuka ruang terjadinya perampasan tanah ulayat secara terselubung.
“Kami tidak menolak pembangunan, tetapi kami menolak jika prosesnya tidak melibatkan kami sebagai pemilik hak adat. Pemerintah desa harus segera mencabut kuasa dan melakukan musyawarah terbuka agar konflik tidak semakin meluas,” lanjut Robeka.
Selain mendesak pencabutan kuasa, warga juga meminta agar Lukas Uwuratuw bersedia menerima pencabutan tersebut secara sukarela sebagai bentuk penghormatan terhadap adat dan demi mencegah potensi konflik sosial yang lebih besar.
Warga Permata berharap, Lukas Uwuratu dapat berpihak pada kepentingan bersama, bukan pada kepentingan kelompok tertentu.
Jika Pemerintah Desa tetap membiarkan kuasa tersebut berlaku, warga memperingatkan akan meningkatnya risiko konflik horizontal, pembangkangan sipil, hingga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa.
“Tanah adat tidak bisa dilepaskan tanpa izin pemiliknya. Jika kuasa ini tidak segera dicabut, kami akan membawa persoalan ini ke jalur hukum dengan bukti dan dasar yang kuat,” tegas warga dalam musyawarah tersebut.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kepala Desa Adaut, Alfaris Titirloloby, menegaskan bahwa surat kuasa yang ditandatangani oleh pihaknya bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD), lembaga adat, dan tokoh masyarakat bukan untuk menjual tanah milik warga, melainkan sebagai bentuk dukungan kepada Lukas Uwuratuw untuk mengurus rencana pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di kecamatan Selaru.
Ia menjelaskan, kuasa tersebut justru dimaksudkan agar para pemangku kepentingan dari Jakarta datang langsung ke Adaut untuk membicarakan kelanjutannya secara terbuka bersama para pemilik hak ulayat.
Sementara itu, Lukas Uwuratuw yang dihubungi via telepon, Selasa (20/5/2025), menjelaskan bahwa inisiatifnya didasari oleh dialog bersama Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat kunjungan ke Ambon. Dalam pertemuan itu, ia menyuarakan kegelisahan bahwa masyarakat Selaru jangan sampai tertinggal dari rencana pengembangan Proyek Blok Masela.
Surat kuasa tersebut, menurut Lukas, lahir dari proses musyawarah yang sah. Rapat pertama digelar pada 8 April 2025 di Balai Desa Ngri Mase. Rapat kedua dipimpin oleh BPD dan dihadiri sekitar 100 orang, termasuk perwakilan 10 soa, lembaga adat, RT/RW, dan tokoh masyarakat.
Dari keputusan rapat tersebut, Lukas Uwuratuw diberi mandat sebagai tokoh masyarakat sekaligus Ketua Umum Forum Pembentukan KEK Selaru untuk mengurus rencana hilirisasi KEK dengan tetap berkoordinasi bersama pemerintah daerah.
(TT-01)