(Zakarias Lamere)
Fenomena pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi kebijakan prioritas Presiden Prabowo. Berbagai kejahatan diungkap, ditangkap, disidang sampai diputuskan. Tentu saja bahwa kebijakan ini mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat. Korupsi adalah perbuatan melanggar hak asasi manusia yang tidak perlu diberikan ruang. Siapapun yang melanggar hukum wajib ditindak tanpa perlu memberikan perlindungan oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Kebijakan ini hanya dapat terlaksana dengan benar manakala pada diri setiap APH terinstitusionalisasi etika dan moral sebagai benteng.
Penulis coba melihat dari sisi terbalik pada tindakan APH. Bahwa pada prinsipnya, kerugian keuangan negara itu terjadi bila ada mens rea (niat jahat) dari pelaku. Sering mens rea juga dilakukan oleh APH dengan cara membebaskan pelaku asalkan pelaku menyetor sejumlah uang. Atau membujuk pelaku untuk mengurangi total kerugian yang akan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan dan selanjutnya sisanya dapat dibicarakan untuk disetor kepada APH. Atau juga perkara dapat dilanjutkan dan tidak atas masukan dari oligarki.
Memperjuangkan keadilan selalu saja menemukan tawaran-tawaran berupa uang, kendaraan, emas, rumah sampai selangkangan. Kejahatan model ini lebih buruk dari mens rea yang dibuat masyarakat sipil.
Terhadap maksud di atas penulis membatasi diri pada praktek penegakan keadilan dari perspektif Plato guna mengeliminasi subjektivitas dalam pandangan publik. Plato adalah seorang filsuf Yunani Kuno yang adalah murid dari Sokrates dan guru dari Aristoteles. Dia hidup kurang lebih 400 Tahun SM. Plato tampil untuk menegasikan dialektika milik Sokrates. Usaha Plato untuk mengoreksi sekaligus mengkritisi kaum sofis yang ketika itu mayoritas mendominasi agora-agora yang ada pada setiap polis di Yunani. Kaum Sofis tampil dengan metode narasi pada ruang-ruang agora. Narasi merupakan salah satu bentuk motode yang lebih mengutamakan kecakapan dalam berbicara. Kecakapan dalam bernarasi di muka pengadilan, bukti dan fakta tidaklah menjadi rujukan persidangan. Memanipulasi bukti untuk menjebak korban, mempengaruhi hakim untuk memenangkan tuntutannya.
Uang Pembunuh Keadilan
Jacques Rancière, filsuf kontemporer dari Prancis, mengatakan bahwa: “hal buruk yang diderita demokrasi kita adalah terutama kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan nafsu yang tak terpuaskan dari para oligark”. Plato menyebut kaum pencinta uang, makan, nafsu dan seks dengan sebutan ‘epithumia’. Bagian dari ajaran Plato yang lebih menekankan pada nafsu atas objek yang secara langsung berkaitan dengan tubuh, sedemikian palsunya nafsu itu sehingga epithumia adalah lambang untuk hipertrofi (pembengkakan) kepentingan.
Pada buku VIII The Republic, rezim uang dalam pembahasan Plato tentu saja secara strict merujuk pada rezim oligarki. Rezim oligarki ini dapat ditemukan dalam tiga rezim berbeda, yakni timokrasi, oligarki dan demokrasi. Timokrasi, hasrat utamanya adalah thumos (pencarian harga diri dan nama besar). Namun dalam tahapan ini, secara diam-diam, para pencari harga diri ternyata didera oleh hasrat akan uang yang merajalela dalam batinnya. Pada ruang publik, ia bernarasi tentang pentingnya penegakan hukum, namun secara privat hasratnya diperbudak oleh keinginan akan uang yang secara diam-diam ia kumpulkan. Seorang timokrat sudah mulai diperbudak oleh epithumia.
Hasrat untuk memperoleh uang juga dapat ditemukan melalui berbagai macam tawaran dari ologarki kepada APH. Seperti pada beberapa kasus. Ambil misal penetapan tersangka oleh Kepolisian dan Kejaksaan yang hilang ditelan waktu. Setiap tahapan selalu diinformasikan kepada publik, namun yang disembunyikan, lenyap begitu saja. Pertanyaan kritisnya adalah, siapa yang lakukan intervensi? Saat penetapan tersangka ada konfrensi pers, kenapa tidak ada keberlanjutan berita oleh APH? Adakah uang mempengaruhi keputusan? Apakah uang juga turut mempengaruhi lamanya tuntutan APH dan putusan pengadilan? Ataukah, perlu ada transaksi dalam penetapan tersangka? Ini sejumlah pertanyaan yang melatarbelakangi animo masyarakat akan sebuah transparansi dalam memperjuangkan keadilan. Inilah yang disebut Plato sebagai Epithumia.
Setiap keputusan yang dilatarbelakangi oleh uang sebagai penggerak eksekusi oleh APH baik untuk melanjutkan ke penyelidikan dan penyidikan oleh Plato, mereka ini adalah budak-budak konyol yang tidak memiliki integritas dan siap untuk cacimaki asalkan ada uang. Dalam dunia demokrasi, bila peran oligarki lebih besar dalam keputusan APH pertanda negara sedang dalam kondisi darurat keadilan. Praktek eksploitasi terhadap kaum lemah tak berduit oleh Georgio Agamben, mereka adalah homo sacer. Plato juga dalam menelaah teori keadilannya, merujuk pendapat Thrasymachus yang menyebutkan bahwa inti dari keadilan adalah eksploitasi terhadap kaum lemah. Epithumia hanya mengikuti satu hukum: mencari yang nikmat dan menghindari hati nurani.
Pragmatisme Keadilan
Pemikiran Plato tentang keadilan tentu saja bertolak dari hukuman yang dijatuhkan kepada Sokrates, gurunya. Proses penjatuhan hukuman kepada Sokrates menggambarkan lemahnya sistem hukum Athena. Ketika itu, keputusan didominasi oleh retorika dan popularitas daripada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Plato melakukan perbaikan konsep keadilan dari pemikiran Thrasymachus, seorang sofis yang mengatakan bahwa keadilan merupakan dominasi dari yang lebih kuat. Hukum dan keadilan dibuat untuk menjamin kepentingan penguasa. Penguasa untuk konteks sekarang juga termasuk pemilik modal (oligarki). Ketika kepentingan mereka tidak atau belum terjawab, maka berbagai usaha akan dilakukan, bahkan menyogok APH untuk memuluskan keinginan mereka. Setelah disogok, APH hadir sebagai pihak peneror bagi instansi dan subjek lainnya.
Guna tercapainya keadilan dalam masyarakat, Plato mengatakan bahwa setiap individu harus menjalankan peran yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya untuk mencapai keadilan. Keadilan hanya dapat tercapai bila masing-masing individu memahami perannya tanpa harus mencampuri bahkan membayar. Memahami peran masing-masing adalah bentuk penghargaan terhadap martabat manusia tanpa harus mengganggu, menghardik dan menggembosi. Plato merekomendasikan model meritokrasi sebagai bentuk kekuasaan yang diperoleh berdasarkan kebijaksanaan dan kemampuan. Bukan berdasarkan harta dan kekayaan.
Menuntut keadilan dengan cara mengorbankan rasa keadilan pada pihak lain melalui tangan-tangan APH hanya akan meninggalkan persepsi bahwa rasa keadilan hanya dapat dinikmati oleh penguasa dan pengusaha. Atau dengan kata lain, APH dijadikan sebagai penjaga malam bagi penguasa dan pengusaha. Apalagi di daerah-daerah terpencil yang jauh dari hiruk pikuk pantauan aparatur pengawas.
Plato mengajarkan bahwa keadilan menjadi prinsip universal bagi individu maupun masyarakat. Keadilan merupakan representasi dari kebijaksanaan. Oleh karena itu, Plato menganjurkan bahwa, untuk memimpin, baik itu pada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif harus orang yang memiliki kebijaksanaan. Orang bijaksana tidak tergiur, tidak terpengaruh dan tidak tergoda dengan tawaran uang dan harta. Pemimpin yang bijaksana memiliki pertimbangan moral dan etika melampaui sikap epithumia dan thumos. Pemimpin yang bijaksana memiliki logistikon yang kuat dan berani mengambil tindakan dan keputusan tanpa intervensi dari pihak manapun.
Epilog
Demi Ketuhanan Yang Maha Esa dan keadilan hanya akan tercapai bila dalam proses penyidikan, penyelidikan, penetapan, penahanan, persidangan sampai putusan, masing-masing orang yang terlibat di dalamnya, lebih khusus APH, menyadari diri sebagai subjek yang otonom. Subjek yang otonom mengedepankan kebijaksanaan yang dibentengi oleh moral dan etika yang tak dapat diterobos oleh siapapun. Baik itu dari penguasa, pengusaha, dan pemberontak.
Prinsip dari keadilan adalah penuntutan dan pemutusan perkara oleh pengadilan berdasarkan kadar kesalahan sesuai dengan peraturan perungang-undangan yang berlaku, berdasarkan beban tanggungjawab dan berdasarakan fakta-fakta persidangan. Bila, kebijaksanaan itu tercapai barulah menjawab demi Ketuhanan Yang Maha Esa dan Keadilan.
Keputusan atas dasar pertimbangan moral dan etika menempatkan pelaku bukan sebagai korban melainkan sebagai pelaku yang bersedia bertanggungjawab atas kesalahan yang dibuat. Plato menegaskan bahwa keputusan yang diambil bila didominasi oleh hasrat akan uang, seks dan makan hanya akan melahirkan defisitnya rasa percaya kaum lemah terhadap APH dalam memperjuangakan keadilan. Pertimbangan epithumia dalam setiap keputusan adalah sebuah tindakan kejahatan yang turut menghacurkan moral dan etika bangsa. Semoga ada kesadaran radikal demi martabat ibu pertiwi yang menjelma dalam rupa Dewi Keadilan.
Saumlaki, mediatifatanimbar.id – Aksi unjuk rasa yang dilakukan sekitar 20 tenaga PPPK (Pegawai Pemerintah dengan…
Saumlaki, Mediatifatanimbar.id – Polemik status 592 Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu di…
Awear Lama, Mediatifatanimbar.id – Hidup sebagai petani sayur di Desa Awear Lama, Kecamatan Fordata Kabupaten…
Saumlaki, Mediatifatanimbar.id - Polemik Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu di Kabupaten Kepulauan…
Saumlaki, Mediatifatanimbar.id - Polemik tidak naik kelas 8 siswa SMP Negeri 2 Yaru Kabupaten Kepulauan…
Saumlaki, Mediatifatanimbar.id - Bupati Kepulauan Tanimbar, Ricky Jauwerissa mengapresiasi kontingen FORKI Kabupaten Kepulauan Tanimbar yang…