Banalitas Kejahatan Palu Paripurna

November 8, 2023
tjak l

Opini Oleh: Zakarias Lamere

Saumlaki, mediatifatanimbar.id

Meneropong kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh Institusi Kejaksaan Republik Indonesia akhir-akhir ini memberikan angin segar bagi jalannya peraban bangsa. Ada upaya dari negara untuk menghadirkan asas kepastian hukum bagi setiap warga negara yang dengan sadar atau tidak telah menikmati uang negara secara tidak halal untuk tujuan tertentu. Kinerja positif dari Kejaksaan perlu mendapat apresiasi dari semua elemen masyarakat dan sekaligus memberikan dukungan bagi setiap langkah positif yang diambil oleh kejaksaan dalam rangka mengembalikan uang negara yang tersendat pada kantong-kantong pelaku untuk dikembalikan pada Kas Negara. Di beberapa daerah, anggota DPRD aktif dan purna ditetapkan sebagai tersangka uang ketuk palu.

Patut diduga, praktek tersebut juga terjadi di Kabupaten Kepulauan Tanimbar terhadap berbagai agenda pembahsan RAPBD, RAPBDP dan Pertanggungjawaban Keuangan Pemerintah Daerah. Telah terkuak di publik bahwa mahar yang ditetapkan legislatif untuk memperlancar ketukan palu terhadap perda pertanggungjawaban Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2019 adalah sejumlah Rp. 400 Juta. Pertanyaan kritisnya adalah adakah aturan yang menjelaskan tentang uang ketuk palu? Apakah uang ketuk palu merupakan sebuah normalitas yang bersifat universal? Dan apakah uang ketuk palu merupakan sebuah tindakan kolektif_kolegial ketidak berpikiran secara kritis sebagai wakil rakyat?  Inilah rentetan pertanyaan yang selama ini mengganggu rasio saya untuk berpikir dan memberikan pendapat secara tertulis. Untuk itu, penulis menelaah dari sudut pandang Banalitas Kejahatan menurut Hannah Arendt.

Banalitas Kejahatan

Banalitas Kejahatan yang bersumber dari Filsuf Hannah Arendt dalam karyanya yang berjudul Eichmann in Jerusalem, menjelaskan banalitas kejahatan sebagai situasi di mana kejahatan dirasakan sebagai sesuatu yang banal atau biasa sekali. Kejahatan yang diputuskan berdasarkan kesepakatan. Kejahatan yang ditetapkan oleh lembaga yang tidak memiliki kompetensi dan kejahatan yang dilakukan untuk tujuan pribadi atau kelompok tertentu.

Banalitas kejahatan sengaja dihadirkan untuk memberikan tekanan, baik fisik maupun psikis untuk memperlemah korban demi tujuan tertentu. Korban tidak berdaya karena disertai teror dan ancaman yang berlebihan. Teror dan ancaman untuk mempermulus permintaan pelaku. Pelaku di sini adalah institusi negara, institusi representasi rakyat, dan institusi yang memiliki legitimasi menyetujui produk hukum. Lembaga representasi melegitimasi represi demi memenuhi hasrat personal dan lembaga. Kekerasan dapat saja dilaksanakan demi mencapai kekuasaan, tetapi tujuan akhir yang dicapai bukanlah sebuah kekuasaan yang sah tetapi terror, intimidasi dan hegiomoni untuk mempermulus kekuasaan.

Pembengkakan Sudut Pandang Palu Sidang

Secara yuridis, DPRD memiliki 3 (tiga) fungsi, yakni legislasi, bugeting dan pengawasan. Membahas Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA dan PPAS) juga perubahannya, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) juga perubahannya dan Rancangan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (RPKD) adalah bagian dari fungsi anggaran. Membahas dan menetapkan menjadi tanggungjawab yuridis_moral demi tercapainya tujuan akhir politik, yakni bonum commune. Penetapan selalu melalui sebuah penegasan utama, yakni ketukan palu sidang. Ketukan palu sidang mestinya menambah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, indeks pembangunan manusia, mengurangi angka kemiskinan ekstrim, angka kemiskinan, angka pengangguran, penderita stunting dan sebagainya. Palu Sidang tidak dimaknai sebagai benda mati, namun palu sidang memiliki roh, roh yang memelihara nafas kehidupan dari setiap warga negara.

Palu Sidang kini telah mengalami penyempitan makna. Maknanya adalah demi mempertahankan status murahan  untuk memperkaya diri sambil mengorbankan pihak lain, yakni masyarakat dan ASN. Dalam tahapan pembahasan KUA dan PPAS, RAPBD dan RPKD mestinya setiap anggota DPRD telah mengetahui secara pasti bahwa dilarang oleh regulasi untuk mengalokasikan anggaran ketuk palu. Yang terjadi adalah pembengkakan sudut pandang yang merupakan sebuah banalitas kejahatan yang oleh Arendt disebut ketidak-berpikiran, ketidak-mampuan melakukan dialog batin untuk mengkaji tindakan yang telah dan akan dilakukan, sehingga orang gagal melihat hakekat kejahatan dan gagal menyelidiki secara kritis premis-premis sebuah keyakinan. Arendt menyebut orang-orang yang tak berpikir mirip orang yang berpikir sambil tidur. Ketidak berpikiran bukanlah ketidak-adaan hati nurani, melainkan ketidak-mampuan berdialog dengan hati nurani. Orang-orang yang tidak berdialog dengan dirinya muda terjebak dengan kompromisme buta dengan sebuah ideologi totaliter. Dengan demikian, ketidak-berpikiran adalah ketiadaan daya pertimbangan baik moral maupun rasional.

Totalitarianisme melenyapkan pluralisme dan ruang antara yang memungkinkan komunikasi dan ruang kritis. Komunikasi lebih dilihat sebagai hegiomoni dan kontra produktif yang berbahaya. Hegiomoni diikuti ancaman akan tidak disetujuinya KUA dan PPAS, RAPBD penetapan perda Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Anggota DPRD mempertahankan bahwa apa yang dilakukan bukanlah kejahatan melainkan tindakan negara, dimana tidak ada negara lain yang memiliki yurisdiksi serupa (par in parem inperium non habet) yang menjadi kewajiban untuk mematuhinya. Dengan demikian anggota DPRD membalikan sifat moral kejahatan menjadi normalitas. Anggota DPRD memandang uang ketuk palu sebagai normalitas. Anggota DPRD bukan saja merasa tidak bersalah, melainkan juga merasa telah melakukan sesuatu yang mulia yaitu menjadi warga negara yang taat hukum dan setia pada tugas. Tidaklah mengherankan, jika anggota DPRD bersikap seperti “Pelayan Rakyat” yang fokus pada kepentingan pribadi. Karena itu, Arendt menyebutnya sebagai “setan yang teramat dangkal”. Jelas ia bukan setan, melainkan seorang legislatif yang lugu. Di sinilah kita bisa memahami sisi lain banalitas kejahatan yaitu sebuah situasi di mana standar kesalahan moral sebuah kejahatan telah dihancurkan oleh sebuah normalitas atau anggapan bahwa itu sama sekali bukan kejahatan melainkan sesuatu yang wajar bahkan mulia.

Kejahatan itu banal menurut Arendt bukan karena bersifat biasa, atau karena “ada Eichmann dalam diri setiap anggota DPRD”, tetapi justru karena ditempatkan dalam ‘normalitas’ tindakan politik warga negara. Sederhananya, banalitas kejahatan berakar pada kesalahpahaman tentang apa artinya menjadi warga negara. Bagi Arendt, rezim totaliter menciptakan suatu jenis kejahatan baru: kejahatan yang lahir dari kepatuhan moral pada sebuah tugas, perintah, administrasi, birokrasi, aturan dan hukum, di mana orang yang melakukannya tidak merasa “bersalah” melainkan sebaliknya “bangga” karena telah menunjukkan sikap seorang “nasionalis/patriot” sejati. Eichmann menganggap dirinya sebagai warga negara yang taat hukum. Argunmen pembelaannya sangat lugas, bahwa dia telah menjalakan tugasnya dengan baik, dia tidak hanya mematuhi perintah, tetapi juga hukum. Sebagai seorang militer, Eichmann, menganggap kepatuhan bukan sekadar sebuah nilai, melainkan kebajikan demi tetap mempertahankan reputasinya di hadapan negara dan rakyat. Sama halnya dengan kebijakan ketuk palu yang memiliki harga. Anggota dan Pimpinan DPRD menerjemahkan tindakannya secara buta tentang hukum moral yang ditawarkan oleh Immanuel Kant tentang “Imperatif Kategoris”. Mereka menerjemahkan sebagai sebuah normalitas yang bersifat universal….

RELATED POSTS

error: Content is protected !! Call : PT. MediaTifa Tanimbar
Hubungi Kami ?