Oleh : Zakarias Lamere
Lahirnya revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang baru saja ditetapkan pada Kamis, 20 Maret 2025 menuai pro dan kontra. Pertentangan tersebut akibat dari maraknya jabatan-jabatan sipil pada birokrasi telah dijabat oleh TNI dan Polri. Seakan masyarakat sipil tidak memiliki kapasitas, tidak memiliki etos kerja, tidak memiliki etika-moral, dan sebagainya.
Perubahan regulasi tersebut seakan ada kedaruratan mendesak yang harus tangani. Negara seakan telah diperhadapkan dengan perang atau serangan dari negara lain sehingga secepat kilat dilakukan revisi tanpa ada Naskah Akademik, tanpa ada Uji Publik dan tanpa sorotan media. Bahkan awak media dirampas kebebasannya saat mencoba menerobos pembahasan tersembunyi di Hotel Fairmont Senayan Jakarta pusat pada 14-15 Maret 2025.
Percepatan penetapan Revisi Undang-Undang TNI ini seingat penulis, sejak Presiden Prabowo di masa-masa kampanye selalu menyodorkan pemikiran fiksinya berdasarkan karya fiksi yang berjudul Ghost Fleet: A Novel of the Next World War (2015) karya Peter Warren Singer dan August Cole. Karya monumental ini menjelaskan bahwa akan terjadi perang dunia ke 3, yang diawali dengan perang antara Amerika dan Cina. Untuk menghadapi ini, perlu dilengkapi armada perang yang lengkap dan kuat. Dan juga guna memasuki medan pertempuran perlu penguatan lembaga TNI.
Desakan Eksekutif diterima Legislatif untuk mempercepat pembahasan hingga putusan. Kekuasaan eksekutif telah melampaui kedua lembaga sebagaimana dinjurkan oleh Montesquieu (1689-1755) mengenai Trias Politika. Penulis akan menelaah dari sudut pandang Giorgio Agamben, seorang filsuf kelahiran Italia pada 22 April 1942. Agamben menjelaskan kondisi ketidaknormalan sistem pemerintahan melalui teori politiknya tentang kekuasaan-berdaulat (the sovereign power) dan keadaan-darurat (state of exception).
Kedaulatan, Milik Penguasa
Demokrasi tak selamanya berjalan murni sebagaimana hasil definisi yang telah disajikan oleh para pakar. Sistem demokrasi adalah pilihan terbaik dari yang terburuk. maraknya otaritarianisme, sentralisme, hegiomoni, dominasi, dan propaganda mempertanyakan siapa pemilik sebenarnya kedaulatan. Bahwa dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemilik tunggal kedaulatan dan rakyat adalah sentrum kedaulatan. Agamben mengajukan antitesis bahwa tatanan politik demokrasi sebenarnya berfondasi pada: kekerasan, diskriminasi, ekslusi, dan penelantaran (Giorgio Agamben 1998, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, Stanford, CA: Stanford University Press). Agamben berpendapat terbalik bahwa jika sistem demokrasi berpotensi melahirkan sistem pemerintahan yang terkonsentrasi dan/atau didominasi oleh penguasa. Hal ini terbukti saat Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia. Untuk mencalonkan sebagai kepala negara harus melalui pastai politik yang memiliki kursi di legislatif. Kualisi Indonesia Maju adalah pemilik kursi mayoritas di legislatif yang kemudian memuluskan pembahasan hingga penetapan. Legislatif di senayan tidak lagi representasi dari masyarakat dan dalam konteks ini telah menjadi representasi eksekutif.
Antitesis yang diajukan Agamben mengarah pada the political. Hukum dalam keterpaksaan berpotensi melahirkan kekerasan dengan alasan state of exception (keadaan darurat). Masyarakat dalam konteks ini atas nama the sovereign power (kekuasaan berdaulat) terinklusi sekaligus tereksekusi pada kamp-kamp konsentrasi. Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan, patut memutuskan apakah kondisi ini darurat atau normalitas? Giorgio Agamben dan Carl Schmitt menyoroti landasan ontologis dari tatanan politik riil. Kedua filsuf ini tiba pada kesimpulan yang berbeda. Schmitt berkesimpulan bahwa sistem demokrasi tiba pada fungsionalitas struktur yang dapat diukur. Sedangkan Agamben yang dipengaruhi oleh Filsuf Aristoteles perihal potensialitas dan impotensialitas (Agus Sudibyo 2019, Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben). Yang berdaulat (penguasa) memiliki otoritas untuk memutuskan kondisi darurat demi kedaulatan. Regulasi yang disusun secara cepat-cepat tanpa ada naskah akademik, uji publik dan luput dari pantauan pers dan masyarakat mau mempertegas dominasi eksekutif akan potensialitas suspension of law (penangguhan hukum). Penciptaan kedaruratan bagi penguasa adalah sebuah normalitas dalam demokrasi.
Sebagaimana telah penulis sebutkan di atas bahwa pemikiran Agamben juga dipengaruhi oleh Aristoteles. Agamben menjelaskan kedaruratan, bertolak dari Polis-Yunani Kuno. Terdapat dua rujukan, yakni politeuma dan politeia. Bahwa kekuasaan berdaulat menurut Agamben telah membentuk dan menjaga keadaan reguler secara keseluruhan untuk semua pihak, tetapi dia sendiri tidak terikat oleh regularitas. Kekuasaan berdaulat memonopoli keputusan final. Inilah esensi kedaulatan negara, bukan dalam pengertian monopoli keputusan. Keputusan kekuasaan berdaulat menyingkap esensi kedaulatan negara lebih jelas dibandingkan regulasi yuridis. Otoritas yang melahirkan keputusan itu membuktikan diri bukan dengan kebutuhan atas hukum guna menciptakan hukum.
Kedaruratan, Milik Penguasa
Lahirnya keinginan untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang TNI seperti yang telah saya sebutkan di atas, secara absolut ingin untuk merampas wilayah kerja sipil. Masyarakat sipil dianggap tidak punya kompetensi dalam memimpin sehingga secara perlahan-lahan akan disingkirkan dari tempat kerjanya.
Terhadap hal itu Agamben memulai analisisnya tentang kedaruratan, bertolak dari pemikiran Walter Benjamin dan Carl Schmitt. Benjamin memetakan pemikirannya tentang keadaan darurat dalam esainya tentang “on the Consept of History” bukanlah situasi yang harus dihindari atau diatasi, tetapi sebaliknya justru harus diwujudkan. Intinya, menurut Benjamin, keadaan darurat merupakan kebebasan setiap orang dari ikatan-ikatan yuridis-konstitusional. Sedangkan Smitt merumuskan keadaan darurat dalam bukunya “Political Theology”. Smitt menegaskan keadaan darurat sebagai sebuah keputusan tentang pemberlakukan atau sebaliknya penangguhan hukum sebagai fondasi tatanan politik. Ia memastikan bahwa tak ada kekuatan yang sungguh-sungguh mengoreksi otoritas kekuasaan berdaulat. Maka prinsip paling fundamental dalam tatanan politik adalah keputusan kekuasaan-berdaulat dalam keadaan darurat.
Pendapat Walter Benjamin dan Carl Schmitt di atas, mempengaruhi Agamben. Namun Agamben berpikir di luar batas embargasi Benjamin dan Schmitt dengan mengatakan bahwa pemberlakukan keadaan darurat telah menjadi sesuatu yang sistematik dan paradikmatik dalam negara demokrasi modern, penyelenggaraan negara dalam keadaan darurat sebagai abnormalitas anomik telah diintegrasikan dalam normalitas penyelenggaraan kekuasaan.
Bahwa, revisi Undang-Undang TNI oleh negara sebagai kedaruratan yang dinormalkan oleh negara. Perubahan regulasi ini sama sekali tidak direncanakan oleh pemerintah sejak awal dan kemudian dibahas dan ditetapkan dalam waktu yang singkat tanpa mempedulikan masukan ahli dari perguruan tinggi, aktivis, LSM, pengamat militer dan sebagainya.
Dengan demikian, masyarakat sedang dipaksanakan ada dalam keadaan darurat yang oleh negara dianggap sebagai situasi yang biasa-biasa saja. Mestinya yang ditargetkan oleh pemerintah adalah perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantas Korupsi. KPK harus benar-benar independen dalam penegakan hukum tanpa ada paksaan dari penguasa. Ataukah percepatan Undang-Undang Perampasan Aset, mengingat Indonesia ada pada darurat korupsi.
Epilog
Pengkondisian terhadap kedaruratan hanya bisa dibuat oleh pemilik kekuasaan demi tujuan tertentu tanpa ada perencanaan yang matang. Lahirnya revisi tentang Undang-Undang TNI dibahas di tempat tersembunyi dan hotel mewah, tersembunyi dari pantauan publik, tidak memiliki naskah akademik dan tidak dilakukan uji publik mencerminkan dominasi yang berlebihan. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pun turut mempermulus permintaan pemerintah.
Mestinya hal ini dipersiapkan secara matang agar tidak berpotensi multi tafsir, mampuh mengantisipasi gejolak dan kebutuhan negara hingga 20 tahun ke depan, dikaji secara benar makna filosofis, sosial, teritori, budaya, geo politik, dan sebagainya agar kehadiran TNI di setiap momen kenegaraan memberikan rasa aman bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Penulis adalah Penasihat ISKA Tanimbar