Opini
Oleh : Jems Masela.
Sulit para mafia dibekukan, karena kepentingan Politik selalu mendominasi. Pelemahan terhadap Hukum pun, adalah bukti, dari intervensi Politik, dan itu disadari bahwa, Politik melahirkan Hukum, dengan demikian sulit dituntaskan. Banyak pihak, parpol, penguasa, pengusaha, dan wakil rakyat, terlibat konflik kepentingan.
Pendanaan parpol dan kepentingan kelompok ataupun pribadi menjauhkan Politik dari kepentingan publik. Jebakan ini, cermin kelemahan etika publik.
Sang pemburu rente ini bisa Pejabat langsung, yang mewakil kekuasaan untuk mengatur kebijakan atau bisa juga pengusaha yang memiliki koneksi Politik ke penguasa. Mereka memiliki pengaruh besar, juga dana besar, sehingga sulit digoyahkan. Jika ada yang mencoba menyerang, mereka akan menyerang balik dengan serangan yang lebih mematikan. Memasuki era Reformasi, prilaku tersebut tidak berubah. Kong kali Kong begitu kuat, merajalela, begitu pula dengan perburuan rente. Keduanya seolah sudah menjadi budaya yang sulit untuk dihilangkan. Revolusi mental barangkali bisa memberantas virus itu, tetapi membutuhkan komitmen yang sangat kuat dan dilaksanakan secara konsisten dengan penuh kesabaran karena akan memakan waktu lama.
Etika publik adalah refleksi tentang standar atau norma yang menentukan baik-buruk dan benar, salah satu prilaku, tindakan, dan keputusan yang mengarahkan kebijakan publik dalam menjalankan tanggung jawab pelayanan publik. Pemburu rente ini mengeruk keuntungan dari peraturan atau kebijakan yang dibuat oleh regulator. Semakin tinggi jam terbang pemburu rente, semakin tinggi pula sasarannya. Mencatut nama, atau nama pemimpin tertinggi pada suatu daerah bahkan lebih diatasnya, sudah menjadi hal biasa. Bagi mereka yang penting gol tercapai, luar dari pada biasa. Padahal secara umum Reformasi bisa dimaknai sebagai perubahan terhadap suatu sistim yang telah ada pada suatu masa.
Pejabat penguasa, wakil rakyat, pengusaha, jelas mengetahui tentang tujuan Reformasi. Yang paling utama adalah memperbaharui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, baik dalam bidang ekonomi, politik, hukum, serta bidang lainnya. Dituntut, Reformasi perlu dipahami oleh pejabat, wakil rakyat, dan itu sudah tentu diahami mereka, namun kesengajaan, apatis, yang menjadikan dasar meraup keuntungan dari pengusaha pemburu rente.
Lalu kemudian etika publik tidak lagi dihiraukan. Pelayanan publik berkualitas dan relavan, artinya kebijakan publik harus responsif dan mengutamakan kepentingan publik, pertama. Kedua, fokus refleksi karena tak hanya menyusun kode etik atau norma, etika publik membantu mempertimbangkan pilihan sarana kebijakan publik dan alat evaluasi yang memperhitungkan konsekwensi etis. Ketiga, bagaimna menjembatani norma moral dan tindakan., Padahal sebenarnya hal-hal ini mencegah konflik kepentingan.
Kajian, GORDON TULLOCK, yang berjudul, “The Welfare Cost of Tariffs, Monopolies, and Theft”, tentang hubungan pemberian hak monopoli kepada pengusaha oleh penguasa. Kemudian berkembang dengan penjelasan bahwa pemburu rente adalah pengusaha yang mendapatkan lisensi khusus, monopoli, dan fasilitas lain dari penguasa sekaligus menghambat. Dari situ mulai lahir teori perburuan rente (theory of economic rent-seeking).
Menentukan penjabat suatu daerah, dengan membebankan kepentingan Politik, justru menghancurkan kehidupan masyarakat, dimana, titipan Politik dari para pemburu rente, untuk memuluskan kepentingan mereka, mengakibatkan penderitaan rakyat terjadi, seperti yang dialami saat ini. Mungkinkah, beban politik yang dititipkan terlalu berat hingga rakyat yang harus dikorbankan ? Sehingga ada dalil-dalil yang menjadikan dasar, daerah lagi kolaps, kemudian program-program pun tidak terlaksana. Pengalihan jabatan pun terjadi, dengan tidak berdasarkan aturan yang jelas, inilah bukti, permainan intervensi Politik didaerah, atau, petunjuk antisipasi Politik Propinsi yang akan datang ? Hanya Penguasa daerah, dan para wakil rakyat yang tau.