Polemik seputar dugaan manipulasi Surat Keputusan (SK) honorer dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Kepulauan Tanimbar telah membuka luka lama tentang integritas birokrasi kita: luka soal keadilan yang diselewengkan dan sistem yang dirusak dari dalam.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam proses seleksi PPPK tahun ini, sejumlah nama yang tidak pernah tercatat sebagai tenaga honorer tiba-tiba memiliki SK yang sah. Anehnya, SK itu diteken oleh instansi yang sama yang kini membela diri bahwa semua berjalan sesuai prosedur.
Lebih miris lagi, ketika tekanan publik menguat, DPRD justru menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bukan untuk mencari solusi tuntas, melainkan untuk ‘cuci tangan’. Ada anggota DPRD yang secara terang mengakui bahwa ia turut “membantu” menerbitkan SK bagi kerabat atau kenalan, demi menyelamatkan masa depan mereka. Tapi benarkah menyelamatkan masa depan bisa dengan mengorbankan masa depan orang lain?
Jika itu bukan nepotisme, lalu apa?
Kita tidak menutup mata bahwa ada keinginan tulus dari Bupati Ricky Jauwerissa untuk menanggapi persoalan ini secara terbuka. Terbukti dengan dibukanya Posko Pengaduan di BKPSDM Kepulauan Tanimbar. Namun publik berhak menuntut lebih dari sekedar “tempat curhat”. Ini menyangkut integritas kebijakan, bukan sekedar pelayanan aduan.
Redaksi Tifa Tanimbar menilai bahwa membentuk Panitia Khusus (Pansus) di DPRD, seperti yang sempat diwacanakan, bukanlah solusi yang jujur. Banyak pihak di dalam lembaga legislatif itu sendiri yang diduga terlibat langsung dalam jaringan penerbitan SK honorer “pesanan”.
Menyerahkan penyelidikan kepada mereka adalah seperti menyerahkan tangki bensin kepada pemantik api.
Kami justru mengusulkan: bentuk Tim Independen, yang melibatkan aparat hukum, unsur Inspektorat, tokoh masyarakat, perwakilan pers seperti PWI, akademisi, hingga LSM. Tim ini tidak hanya menyelidiki, tetapi juga menyusun laporan terbuka sebagai dokumen publik yang dapat diuji kebenarannya.
PPPK adalah soal masa depan birokrasi. Jika proses rekrutmennya saja sudah cacat dari hulu, bagaimana mungkin kita berharap muncul ASN yang berintegritas di hilir?
Maka, jika kita masih mencintai kabupaten ini, mari bersihkan luka ini. Bukan dengan saling melindungi, tetapi dengan keberanian moral untuk berkata: cukup sudah sistem ini dipermainkan.
Tifa Tanimbar berdiri bukan sebagai hakim, tetapi sebagai suara nurani yang tetap percaya bahwa kebenaran tidak akan pernah tumbang, selama masih ada orang-orang jujur yang berani bersuara.
“Integritas tidak diwariskan. Ia diperjuangkan.”
Kidabela….
Redaksi Tifa Tanimbar